Akhir-akhir
ini kita sering mendengar istilah ‘Stunting’ atau
program-program dan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memerangi
Stunting. Banyak orang mungkin cukup sering mendengar istilah ini namun belum
mengetahui apa itu ‘Stunting’.
Dewasa
ini Indonesia mempunyai masalah gizi yang cukup berat yang ditandai dengan
banyaknya kasus gizi kurang, malnutrisi merupakan suatu dampak keadaan status
gizi. Stunting adalah salah satu keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan
ketidakcukupan zat gizi masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang
bersifat kronis. Stunting adalah salah satu keadaan malnutrisi yang berhubungan
dengan ketidakcukupan zat gizi masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi
yang bersifat kronis. Stunting diukur sebagai status gizi dengan memperhatikan
tinggi atau panjang badan, umur, dan jenis kelamin balita.Prevalensi stunting
di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti
Myanmar (35%), Vietnam(23%), dan Thailand (16%)dan menduduki peringkat kelima
dunia, sehingga hal ini menjadi permasalahan yang cukup serius, dan harus
segera di tangani.
Stunting
merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi. Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi dan tidak hanya
disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting diantaranya:
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik,termasuk
kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah
ibu melahirkan.
Beberapa
fakta dan informasi menunjukkan bahwa 60% darianak usia 0-6 bulan
tidak mendapatkan ASI secara ekslusif, dan 2 dari 3anak usia 0-24 bulan tidak
menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI seharusnya mulai
diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk
mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya
tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak.
2. Masih terbatasnya pelayanan
kesehatan selama kehamilan
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses kelayanan pembelajaran dini yang berkualitas. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi, dan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal juga bisa berpengaruh.
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses kelayanan pembelajaran dini yang berkualitas. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi, dan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal juga bisa berpengaruh.
3. Kejadian kurang
Energi Kronis (KEK) pada wanita usia subur 15-49 tahun,baik hamil maupun tidak
hamil.
Menurut Riskesdas 2013, prevalensi risiko KEK pada wanita hamil adalah 24,2 persen, sedangkan pada wanita tidak hamil adalah 20,8 persen. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya rentan jatuh sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa, dan penurunan kemampuan kognitif .
Menurut Riskesdas 2013, prevalensi risiko KEK pada wanita hamil adalah 24,2 persen, sedangkan pada wanita tidak hamil adalah 20,8 persen. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya rentan jatuh sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa, dan penurunan kemampuan kognitif .
Melihat
tingginya angka kejadian stunting di Indonesia menandakan bahwa kasus stunting
ini merupakan msalah yang cukup serius yang harus segera ditangani. Untuk
menanggulangi permasalahan ini Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan
bersepakat menargetkan agar angka stunting di Indonesia bisa diturunkan hingga
19 persen pada 2024. Target tersebut telah masuk dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Intervensi yang paling menentukan
untuk dapat mengurangi pravalensi stunting,perlu dilakukan pada 1.000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK) darianak balita. Adapun hal-hal yang bisa dilakukan
orangtua untuk meminimalkan stunting antara lain dengan pemenuhan kebutuhan zat
gizi bagi ibu hamil, pemberian ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan pemberian makanan
pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya setelah umur 6 bulan, Memantau
pertumbuhan balita di posyandu dengan melakukan penimbangan secara rutin, serta
meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga
kebersihan lingkungan.
Sumber:
Sutarto, dkk. 2018. “Stunting, Faktor
Resiko dan Pencegahannya”. Jurnal Agromedicine. Vol. 5. No. 1
Penulis : Annisa
Penulis : Annisa
Comments
Post a Comment